Jumat, 20 Desember 2013

Sabtu, 14 Desember 2013

Tahu Asin

Kita pasti punya banyak alasan untuk tidak membeli tahu asin yang dijajakan pedagang asongan di pom bensin ataupun bus bumel. Mungkin karena kita memang tidak suka tahu asin, mungkin karena tidak punya uang, mungkin juga kita berasumsi tahu asinnya sudah tidak enak lagi. Tetapi para pedagang itu tetap saja menjajakkan dagangan  mereka, mengharapkan rupiah demi rupiah dari pembeli yang tidak tentu. Apakah mereka tidak punya pilihan pekerjaan lain?

Tentu mereka memiliki banyak pilihan. Menjadi guru, politisi, ulama, pemimpin, astronot, pencari fakta, atau apapun itu. Tetapi dari sekian banyak pilihan, jalan hidup mereka bermuara pada tahu asin, sebuah makanan rakyat kecil yang memohon untuk dijajakan.

Nasib yang lebih baik berpihak pada kerabat si tahu asin, tahu bakso. tahu berisi daging giling yang di-bakso-kan ini memiliki daya jual yang lebih tinggi dan rasa yang lebih beragam. para penjual tahu bakso pun lebih bervariasi, dari mengantar tahu ke warung-warung mi ayam hingga memiliki brand dan outlet sendiri. Bukan tahu bakso yang menentukan nasibnya, tetapi pembuat dan penjualnya yang menentukan pilihan.

Penjual tahu bakso barang  tentu sudah memikirkan matang-matang usaha yang akan mereka lakukan menyesuaikan dengan kemampuan mereka. Dengan persiapan yang matang, usaha tahu bakso pun sukses, jauh dari usaha tahu asin yang berkelas bus ekonomi.

Tidak ada seorang pun yang bercita-cita mendapat penolakan dari orang-orang di bus begitu sering seperti yang dialami para pedagang tahu asin. Jika dibandingkan dengan usaha tahu bakso, tentu usaha tahu asin hanya sekecil debu di pelupuk mata dan terkesan 'kurang berusaha' (Kita tahu bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka).

Akan tetapi, debu bukanlah struktur terkecil di muka bumi ini bukan? Mereka-mereka yang hanya bermodal tampang memelas (tetapi badan bugar) dan mangkuk plastik lah struktur yang lebih kecil dan ringan. Tuhan tentu tidak akan mengubah nasib mereka sebelum mereka menutup mangkuk plastik itu. 

Jumat, 01 November 2013

Spion Robby

"Tenanglah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ayo berangkat!"
Berangkatlah kami, memenuhi undangan itu.

Hal yang buruk yang kadang terlintas, terpikir, terbayang, memang tidak harus diutarakan. Karena bila pun kejadian buruk itu terjadi, tahu atau tidak tahu kita sebelumnya, tentulah akan terjadi. 

Tetapi, jika kita mengetahui lebih awal, tentu kita akan dapat mengantisipasi, bukan?

Ya. Segera setelah saya mendengar kata-kata Robby kala itu, saya juga sudah mencoba mengantisipasinya. Sepanjang jalan saya juga terus berdoa agar diberi kelancaran dalam perjalanan menuju tempat tujuan bersama Robby. Saya carikan jalan yang tidak terlampau ramai dengan kendaraan yang menyeramkan. Tapi Tuhan berkata lain, kata-kata Robby terpaksa menjadi kenyataan. 

Hingga kini saya masih tidak tahu siapa yang bersalah, Robby, atau ibu-ibu pengendara motor itu. Saya hanya dapat terus mengucap syukur bahwa kali itu kami selamat. Hanya satu yang tidak selamat, spion Robby.

Jumat, 11 Oktober 2013

Bicara pada Semut

Ketika ada seekor semut melintasi tangan atau kaki, tentulah geli. Saya suka konyol kalau ada satu ekor semut di tubuh saya. Kalau banyak sih, tidak apa-apa, tapi kalau cuma satu, mau bunuh dosa ek.

Ketika semut tersebut telah menjauhi tubuh saya, tiba-tiba saya berangan-angan bisa berbicara dengan dia. 

Saya  : Ssst.. mut mut..
Semut: Apa?
Saya  : Ngapain kamu jalan sendirian?
Semut: Lah, emang enggak boleh? 
Saya  : Ya boleh sih, tapi apa enggak takut? 
Semut: Ngapain sih takut, takut sama apa?
Saya  : Ya kalau kamu terinjak atau gimana gitu tiba-tiba dibunuh.. kan ngeri
Semut: Pada hakikatnya kan kita memang ditakdirkan untuk sendirian, gimana sih kamu? kalau memang tiba-tiba aku terinjak dan mati, ya sudah takdir, namanya juga makhluk kecil.
Saya  : Ooh, begitu ya mut, ya sudah, lanjutkan perjalananmu ya, hati-hati. 
Semut: Ya

Kalau saja percakapan itu benar-benar terjadi, sayangnya itu semua hanya karangan saya. Saya sendiri masih bertanya-tanya, kapan dan mengapa semut berjalan sendirian, serta ke mana tujuannya. Kalau mereka berkumpul kan,  berarti sedang ada sumber makanan, tapi kalau sedang sendirian? apakah dia pergi menemui pacarnya? atau pergi rapat? atau bertemu teman lama? seberapa jauh dia harus berjalan? dari mana dia dapat energi sebanyak itu untuk berjalan sejauh itu? 

Manusia bukan semut, dan semut juga bukan manusia. Tapi Tuhan sengaja menciptakan keduanya. Mengapa? Saya yakin semua orang sudah tahu jawabannya. 

Kamis, 15 Agustus 2013

Disanjung

Sudah, sudah cukup. Cukup sanjungan-sanjungannya. Jangan terlalu lama dibicarakan terus, nanti keberuntungan negara kita hilang lho.

Rabu, 07 Agustus 2013

Dari Sebuah Gunjingan

Doktrin membenci ini, mungkin secara tidak sengaja mereka ucapkan, mereka gunjingkan
tapi sungguh seperti racun yang tidak ingin saya minum, petir yang tidak ingin saya dengar, dan sengatan yang tidak ingin saya rasakan.

Jangan ajari saya membenci, saya bisa sendiri. 

Sabtu, 03 Agustus 2013

Koneksi

Sudah sangat lama saya tidak menulis di media ini. Padahal, berminggu-minggu sebelum ini saya banyak dapat ide, tapi sekarang semuanya menguap. Ada yang menghalangi saya untuk menulis kala itu. Koneksi. 

Sesuatu yang terputus, memang sangat menghambat, apalagi jika yang terputus adalah yang satu ini - koneksi. Bukan sembarang koneksi, melainkan koneksi internet. Bagaimana bisa saya log in di blogger kalau koneksi internet di rumah saya ngambek dan hanya dapat terhubung sesingkat kita melihat pancaran kembang api. 

Bukan hanya saya yang terhambat menulis akibat koneksi yang abal-abal ini, tetapi kakak saya justru yang paling ribut. Katanya ada banyak email yang harus dibalas - email dari dosennya. Sebenarnya saya juga kasihan melihat dia kelimpungan, tapi mau bagaimana lagi, keluarga kami sudah berkali-kali mengabarkan gangguan internet ke pihak provider, tetapi teknisi dari providernya baru datang siang tadi. Ah biarlah, yang penting sekarang internetnya sudah bisa dipakai lagi. Alhamdulillah. 

Kalau masalah koneksi internet yang terputus sementara waktu saja bisa membuat orang kebingungan, kelimpungan, gelisah, bagaimana dengan koneksi antarsesama manusia? Apakah bila kita kehilangan koneksi dengan teman lama kemudian kita bingung? limpung? gelisah? Tidak juga. 

Teman itu selalu menjadi status, tapi tidak selalu stagnan dan mengikuti kita. teman datang dan pergi. teman les saya dulu di tempat kursus - saya sudah tidak tahu di mana saja mereka. teman saya di satu dojang Tae kwon do, tidak semuanya saya tahu keberadaan mereka sekarang. Tapi saya tidak pernah bimbang. Di sini masih banyak teman, kian hari kian banyak. dari kakak kelas sampai adik kelas, semuanya teman. setiap tahun bertambah adik kelas, berarti tambah teman, tambah follower di twitter (terutama security, ya nggak?). Semua orang pasti seperti itu. 

Tapi ada kalanya, ketika kita memiliki teman yang dulunya dekat, tiba-tiba hubungan menjadi renggang, dan koneksi pun perlahan musnah. Saya juga pernah alami itu, dengan teman SD saya. Saya masih selalu ingat dia, kadang melihat dia, tapi tidak pernah bertegur sapa. Mengapa? karena musnahnya koneksi di antara kami. Saya sendiri bingung, bagaimana bisa koneksi ini terputus, padahal perangkat canggih hadir di mana-mana. Koneksi batinlah yang mungkin menjadi faktor utama terjadinya kemusnahan koneksi antara kami. 

Di hari kemenangan, biasanya orang-orang sibuk berkumpul dengan keluarga besar merangkai kembali koneksi-koneksi yang tidak terjalin teratur. Hanya setahun sekali, akan tetapi koneksi itu bisa tersambung kembali, meski hanya hangat-hangat tahi ayam sekitar waktu lebaran. Saya hanya berharap suatu saat ketika saya sudah besar, bisa menyambung koneksi yang baik dengan teman-teman saya dari masa lalu hingga masa depan. Amin.

Rabu, 03 Juli 2013

Lisensi

Beberapa waktu yang lalu saya disuruh orangtua saya "mencari" lisensi. Sudah sejak lama sebenarnya saya diwanti-wanti untuk mencari, tapi saya enggan. Bagaimana tidak? saya jarang sekali diperbolehkan mengemudi, belajar ataupun mencoba, tapi langsung disuruh mencari lisensi. Ah yang benar saja.

Jujur, saya sebenarnya malas mencari lisensi. untuk apa? saya tidak begitu suka mengemudi. sebenarnya. mungkin ketidaksukaan saya akibat dari kesempatan yang tidak pernah diberikan, dan saya pun jengkel. Ah sudahlah. Alasan itu tidak penting. yang penting saya ingin cerita lucu tentang hari ketika saya mencari lisensi di tempat yang seharusnya. 

Pagi-pagi sekitar pukul sembilan, saya diantar ibu ke tempat itu. masuk ke ruangan pertama bangunan Belanda tersebut saya dan ibu langsung menghampiri loket. Pak petugas memberi saya formulir sebesar kertas folio garis. saya pun mengisi data-data yang dibutuhkan, lalu saya serahkan kembali ke petugas, kemudian petugas itu langsung meminta saya menunggu di ruang teori. Ibu saya tidak mengatakan kode-kode apa pun. Saya dan ibu langsung menuju ke tempat yang dimaksud petugas tadi. letaknya di bagian belakang bangunan tersebut. 

Setelah itu saya diminta menunggu. saya pun duduk di sebuah bangku kayu. bentuknya kira-kira seperti tempat duduk di warung burjo. cukup lama saya menunggu. rupanya saya adalah satu-satunya peserta tes perempuan. sedari tadi bapak-bapak dipanggil oleh petugas satu per satu untuk tes tertulis pengajuan lisensi untuk kendaraan roda empat. Tiba-tiba, ada seorang laki-laki berumur sekitar 40-an membawa formulir pengajuan lisensi, langsung menyerahkan kepada petugas di ruang teori, tidak lama, bapak itu kemudian keluar lagi dengan membawa formulir yang dia bawa tadi. Saya sih tidak tahu apa-apa, walaupun sebenarnya di benak saya berpikiran macam-macam. 

Akhirnya saya dipanggil petugas teori. tiba-tiba saya diminta tanda tangan dan langsung menuju ke lapangan untuk praktik mengemudi. Saya sedikit bingung, menangkap raut kebingungan saya, petugas langsung berkata pada saya, 

"Daripada harus tertulis, langsung saja ke depan, ini kan nunggu lama yang tes, nanti ndak kelamaan. apa mau tak tes beneran?"

Saya pun diam saja dan menuruti perintah petugas teori. Kalau saja saya niat bikin lisensi, mungkin saya menantang bapak petugas teori tadi. Akan tetapi saya malas terlalu lama berurusan dengan petugas-petugas seperti mereka. Masa bodoh. 

Saat saya menuju ke depan, ibu saya bertanya tentang tes tertulis, dan saya jawab,

"Disuruh langsung ke depan. tesnya sudah dikerjakan pak petugas. jawaban benar saya 26, jika ingin lulus, minimal menjawab benar 21 soal..." 

Ibu saya diam saja. saya pun tidak banyak bicara, dan langsung menuju ke halaman depan untuk praktik. 

Sesampainya di depan, saya menyerahkan formulir saya dan hasil tes saya - yang benar 26 soal itu - ke petugas penguji. saya diminta ambil nomor urut ujian, padahal hanya ada dua orang - termasuk saya - yang akan mengikuti ujian untuk lisensi tersebut. Saya pun mengambil nomor urut yang lebih banyak dari peserta lain, saya tidak ingin diuji lebih dulu. apalagi peserta ujian itu laki-laki. 

Sebelum kami diuji, pak petugas memberi contoh mengemudi di area ujian di jalur-jalur yang sudah ditentukan. Ah, saya pasti bisa, bisa kalo naik sepeda gunung saya.

Peserta ujian pertama pun mencoba, dan dia sangat kesulitan. Saya sudah mulai merasa mules karena grogi. Pasti saya lebih parah daripada dia. Tapi saya tidak peduli, mana ada peserta ujian yang langsung lulus ujian seperti itu kecuali Marc Marquez? 

Kenyataan pun tidak jauh berbeda dengan perkiraan saya. Saya tidak peduli mau jalan ke mana kendaraan yang saya kendarai ini. disuruh mengikuti jalur, ya saya ikuti. tapi ketika ada patok-patok yang membatasi, ah saya tidak kuasa kalau harus selalu dalam lingkaran yang sudah ditentukan. Saya tabrak saja patok-patok yang sudah ditata sedemikan rumitnya bagi peserta ujian. 

Daaaaan ya, saya pun gagal mendapatkan lisensi. Pak petugas meminta saya datang lagi dua minggu setelah ujian yang pertama. Orangtua saya mendesak saya untuk belajar melewati tantangan-tantangan seperti yang disiapkan petugas penguji pencarian lisensi, tapi saya sebenarnya enggan. Mungkin memang terkesan egois, tapi saya malas saja. Mengapa saya harus susah payah belajar kalau bisa langsung mendapatkan lisensi? Apa ada bedanya lisensi yang langsung jadi dengan lisensi melalui tes? apa ada bedanya lisensi yang melalui tes teori murni dan tes teori yang dibuatkan pak petugas? Mengapa sewaktu saya diuji praktik tidak dikerjakan pak petugas saja? Mengapa tidak ada sekolah mengemudi seperti di Bikini Bottom? Mungkin karena Indonesia tidak diatur oleh Stephen Hilenburg. 

Maaf kalau cerita saya tidak lucu.

Jumat, 21 Juni 2013

Golongan Terinjak

Ibarat bangunan, mungkin yang satu ini kurang semen. Ibarat roti, yang satu ini jelas kekurangan tepung. Tapi semua ini bukan karena harga-harga naik, tapi memang tidak ada usaha untuk membeli semen ataupun tepung. 

Beginilah keadaannya. Kepala laki-laki jelas berbeda dengan semrawutnya pikiran perempuan. tiga lawan lima, jelas tidak terdengar jeritan berisik tiga perempuan ini. Atau mungkin perasaan saya saja? Ah tidak. teman saya (yang juga perempuan) sudah pernah mencoba berbicara, tapi respon yang muncul justru jauh dari yang diharapkan. 

Kalau sudah tidak kajen begini, sebenarnya ingin marah, ingin minggat, tapi tidak bisa. Biar saja begini, mengalah. Yah, walaupun sebenarnya sudah bosan untuk ngerteni sikap dan dinamika mood-nya yang selalu naik turun tidak stabil. Sering sekali menemukan ulat sing bening leri. Sedih juga ya. 

Ah sudahlah. Saya menyerah saja. Pura-pura tidak ada secuil pun masalah di antara kita berdelapan. Mungkin di atas visi yang berdiri di atas semua golongan, saya termasuk salah satu golongan yang Anda injak, Mas. 

Selasa, 30 April 2013

Momen Apresiasi

Hari ini saya dan beberapa teman saya dikagetkan oleh sebuah pujian. Mungkin bukan suatu pujian yang besar, lebih seperti respon positif yang membuat saya dan beberapa teman saya besar kepala.

"Nah, ipa 3 persiapannya sudah bagus."

Hanya lima detik, ucapan beliau, rasanya perjuangan saya dan teman-teman selama dua tahun ini berhasil meluluhkan hati seorang seniman.Kami benar-benar merasa dihargai, terlepas dari ekspresi si-ibu yang selalu terlihat cemberut setiap kali menyaksikan kami beraksi. Tadi benar-benar momen yang sangat apresiatif. 

Lain tadi, lain kemarin, dan mungkin 18 hari lagi, ketika kata apresiasi tidak seindah dan semudah tadi siang. Apapun bentuk seni itu, pasti bermakna, entah bagi senimannya atau yang lebih baik bagi seluruh penontonnya. Saya akui, menjadi arsitek panggung seni tidaklah mudah. Membujuk orang untuk mengapresiasi seni pun tidak mudah. Kebanyakan menilai dari jam terbang dan nama besar. Jarang ada yang berpikir bahwa uang tidak jatuh dari pohon seperti daun.

Saya bukan ibu guru seniman yang memiliki selera seni dan kepekaan telinga yang tinggi, hanya saja saya  ingin menyediakan wadah bagi para seniman yang ingin karyanya dilihat. Panggung seni ini bukan tentang kualitas, jam terbang, apalagi nilai. Seni itu bebas, seni itu memiliki jiwa independen, tidak bergantung pada kotak-kotak rigid yang membatasi cara pandang orang yang sempit pikirannya. Seni itu murah, tidak perlu puluhan juta untuk memanggil mereka - orang-orang kaya metropolitan yang hanya naik panggung 30 menit. 

Kamis, 21 Maret 2013

Genggaman

Dia tidak jauh dari genggaman. Hanya saya yang belum dapat melihatnya.

Tentang slogan

Kemarin, dalam perjalanan ke Semarang, saya menemukan slogan Bangun Desa, Nata Kutha. Ini sebelumnya maaf lho, entah slogan siapa, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan, karena saya yakin slogan ini dipenuhi visi misi yang bermutu untuk rakyat.

Jadi kita mulai dari frasa pertama. Bangun Desa. Mungkin lebih luwes ditulis (m)bangun desa, pakai em. Ide dari frasa pertama ini sangat baik. Membangun desa. Selama ini kita semua berpikiran bahwa di desa itu masih banyak kekurangan, terutama fasilitas. Entah fasilitas kesehatan, pendidikan, atau transportasi. Maklum, tempatnya kan kethip, sulit dijangkau dan penduduknya sedikit. Kalau begitu rakyatnya apa juga sama kekurangannya seperti kekurangan desa tadi? Wah tidak. Banyak yang bilang orang desa itu justru sugih-sugih. Cuma penampilannya saja kok. Tapi sepertinya there's no big deal dengan penampilan. Yang penting kesejahteraan kan? Karena terkadang penampilan nyeleneh justru jadi khas dan menghibur. 

Eh kok ngelantur saya nulisnya. Jadi kita kembali ke slogan tadi. Kalau yang dimaksud dengan membangun desa itu membangun dari banyak sisi seperti dari manusianya diberi banyak penyuluhan tentang pertanian organik, tentang usaha padat karya dan macam-macam, wah oke sekali. Kalau dari sisi fasilitas ditambah puskesmas yang lengkap + dokter jaga + ambulan lebih bagus lagi. Pokoknya hal-hal fundamental ditingkatkan di desa, itu baru mbangun desa. Tapi, akan seberapa jauh desa itu dibangun? bukankah pembangunan seharusnya terus bergerak karena banyaknya kebutuhan? bukan tidak mungkin desa bisa jadi kota lha wong daerah Tembalang yang dulu hutan belantara saja bisa jadi kos-kosan.

Sekarang Nata Kutha. Kalau setahu saya, segala sesuatu yang ditata (diberi tindakan penataan) biasanya dari hal yang tidak tertata atau berantakan. berarti maksudnya kutha / kota itu berantakan. Apanya yang berantakan? banyak. Orang, infrastruktur, birokrasi, ya pokoknya banyak, saya juga tidak mau sok tahu. Yang menjadi pertanyaan, dari mana mau menata kota? apa dari semua sudut langsung dihajar, atau dari sudut ini atau itu dulu. Kalau saya yang diminta menata kok orangnya dulu ya. Tapi yang jadi masalah, menata orang itu susah. Metodenya harus seperti apa saja saya tidak tahu.

Saya hanya berharap, siapa pun yang melaksanakan slogan tersebut dapat mencapai tujuannya untuk membuat rakyat sejahtera. Jangan mikir yang aneh-aneh lho, apalagi sampai punya istri tiga seperti Pak Djoko, eh. Yah pokoknya semua tergantung niatnya lah. Saya ingat kata teman saya isyfan

Niat adalah hal fundamental. Tindakan  adalah titik bifukarsinya. 

Semoga semua orang mengerti. Selamat sore.


Sabtu, 02 Maret 2013

Panggung Sepak Bola

Semalam saya menonton El Clasico, ya meskipun saya tidak begitu suka kedua tim, namun rupanya laga di markas Real Madrid itu lebih menarik daripada buku agama saya. Seperti biasa, seperti prediksi para penulis berita, El Clasico berjalan panas, diwarnai puluhan pelanggaran, dan kontroversi. 

Saya memang jarang menonton El Clasico full time, tapi semalam entah mengapa saya tertarik menonton lanjutan La liga tersebut sampai final whistle ditiupkan wasit Miguel Perez. Match yang pada akhirnya dimenangkan tuan rumah itu pun mendapat banyak komentar, baik dari para pecinta Madrid, maupun Barcelona. Bahkan hoax sempat muncul, akibat kartu merah yang diberikan wasit pada kiper Barca Victor Valdes pada ujung laga. Media yang tidak bertanggung jawab tersebut mengabarkan Valdes memukul Pak Wasit di ruang ganti. Untung saja, stakeholder pertandingan langsung meralat berita tidak benar tersebut. 

Sejak SD saya memang suka menonton sepak bola, karena bagi saya pertandingan sepak bola merupakan paket lengkap pengetahuan tentang olahraga itu sendiri serta hiburan sekaligus. Hiburan jalannya pertandingan, dan juga para punggawa-punggawa yang tampan (jujur). 

Akan tetapi, setelah hadirnya berita tentang perjudian semacam fixing score di banyak pertandingan sepak bola di Eropa, membuat kepercayaan saya terhadap pertandingan-pertandingan sepak bola berkurang. Apakah benar, laga kontroversial Madrid-Barca yang selalu seperti itu panasnya memang alami dari tumbukan kemampuan para pemain hebat di liga spanyol, atau, sebuah panggung hiburan yang memang sudah direncanakan? 

Mungkin sudut pandang ini terkesan overgeneralizing bahwa semua pertandingan bola di eropa sudah tidak bersih lagi. Akan tetapi, kita semua tahu, hal-hal yang melingkari si kulit bundar merupakan komoditas yang sangat dekat dengan uang. Ketika uang hadir, bukan tidak mungkin pertandingan bisa diatur sangat menarik, atau bahkan jauh dari prediksi para penulis berita. 

Kini banyak lapangan sepak bola tak ubahnya panggung sandiwara di mana para punggawa tim menjadi aktornya. Diving mungkin hanya sebagian kecil dari akting para pemain bola. Di balik hasil dari suatu pertandingan, mana bisa kita para penikmat sepak bola tahu yang terjadi sebelum maupun sesudah pertandingan tersebut? Kalau ada media yang mengabarkan insiden ini-itu di ruang ganti, berita itu tentu tak lebih dari berita permukaan.

Saya tahu, dengan menulis seperti ini mungkin sedikit mencoreng citra dari pertandingan-pertandingan sepak bola di dunia. Akan tetapi, saya sendiri sebenarnya "sakit hati" mengetahui adanya fenomena fixing score yang diotaki warga Singapura  itu. Yang saya inginkan, semua pertandingan tetap tersaji bersih dengan sportivitas sebagai jantungnya. Akan tetapi, saya tidak punya uang untuk mengaturnya, apa boleh buat?

Senin, 25 Februari 2013

Mimpi Kerdil

Saya tidak pernah menyadari seberapa besar mimpi saya, hingga pagi ini, saat upacara bendera saya tersadar. Saya tidak pernah menganggap mimpi itu bisa menjadi kenyataan, intinya, saya tidak pernah mencoba "Membesarkannya".

Ya, saya berusaha sekuat mungkin, juga berdoa. Saya mencoba untuk tidak gegabah dan tidak ambisius. Saya tidak bisa berkata itu cukup atau kurang, salah atau benar. Selama ini hanya itu yang saya lakukan tanpa menutrisi mimpi saya dengan "gizi" yang tepat. 

Sampai detik ini pun saya masih tidak yakin dengan "nutrisi" apa yang seharusnya saya tuang pada mimpi saya yang kerdil ini. Saya masih pusing dengan rumus-rumus fisika-kimia-matematika yang menghantui hari-hari saya H-7 UTS ini. 

Akan tetapi, amanat pembina upacara pagi ini seakan menampar saya. Selama ini saya rasa saya hanya terjebak dalam permainan mereka-mereka yang bersatu dan berusaha meraih mimpi-mimpi dan ambisi mereka, dan saya hanya seorang diri. Lemah, dan sendirian. 

Saya pikir saya sudah cukup kuat untuk menjadi seorang petarung tunggal, namun kiranya belum. Usaha membesarkan mimpi itulah yang belum saya penuhi. Mimpi kerdil itu harus perlahan dibesarkan, di tengah keterbatasan waktu maupun sarana. Semua itu hanya butuh kesabaran.
You'll be a forever loser if you keep on being jealous at some others' BIG dreams. 
(Flag Ceremony - this morning)

Senin, 28 Januari 2013

Dependensi

Setiap orang berbuat kesalahan, setiap orang dapat menyadarinya, dapat pula tidak. Setiap orang dapat memaafkan kesalahan, dapat pula tidak. Namun kondisi tersebut tidak akan berjalan lama. Hidup harus terus berjalan, dan dependensi selalu muncul tak berkesudahan. Tidak selamanya kita harus independen, karena dependensi justru dapat menyatukan kita. Tiap individu bahkan suatu negara, selalu butuh orang lain, baik hubungan antarindividu hingga hubungan internasional. Dependensi selalu ada, dan dialah yang menyelesaikan masalah kita semua.

Kamis, 10 Januari 2013

Tolong Katakan

Tolong Katakan pada Saya, bahwa Saya tidak pantas mendukung Anda. Saya terlalu merepotkan Tim, dan Saya sama sekali tidak dapat membantu Anda meraih Gelar Juara yang Anda inginkan. 

Tolong Katakan pada Saya, bahwa Saya memang pecundang yang gagal mewujudkan visinya. Tolong Katakan saja bila Anda enggan membantu. 

Tolong Katakan pada Kami bahwasanya Kami ini terlalu banyak melakukan ketololan. Kami tidak kreatif sama sekali. Kami bukan penemu, tidak seperti Anda. Kami hanya pengikut yang sok sibuk, padahal, tidak sukses mengorganisasikan acara. 

Tolong Katakan semua itu  pada Kami. Tentu akan kami dengar, dan kami juga akan buktikan. #GaneshaArmy