Beberapa waktu yang lalu saya disuruh orangtua saya "mencari" lisensi. Sudah sejak lama sebenarnya saya diwanti-wanti untuk mencari, tapi saya enggan. Bagaimana tidak? saya jarang sekali diperbolehkan mengemudi, belajar ataupun mencoba, tapi langsung disuruh mencari lisensi. Ah yang benar saja.
Jujur, saya sebenarnya malas mencari lisensi. untuk apa? saya tidak begitu suka mengemudi. sebenarnya. mungkin ketidaksukaan saya akibat dari kesempatan yang tidak pernah diberikan, dan saya pun jengkel. Ah sudahlah. Alasan itu tidak penting. yang penting saya ingin cerita lucu tentang hari ketika saya mencari lisensi di tempat yang seharusnya.
Pagi-pagi sekitar pukul sembilan, saya diantar ibu ke tempat itu. masuk ke ruangan pertama bangunan Belanda tersebut saya dan ibu langsung menghampiri loket. Pak petugas memberi saya formulir sebesar kertas folio garis. saya pun mengisi data-data yang dibutuhkan, lalu saya serahkan kembali ke petugas, kemudian petugas itu langsung meminta saya menunggu di ruang teori. Ibu saya tidak mengatakan kode-kode apa pun. Saya dan ibu langsung menuju ke tempat yang dimaksud petugas tadi. letaknya di bagian belakang bangunan tersebut.
Setelah itu saya diminta menunggu. saya pun duduk di sebuah bangku kayu. bentuknya kira-kira seperti tempat duduk di warung burjo. cukup lama saya menunggu. rupanya saya adalah satu-satunya peserta tes perempuan. sedari tadi bapak-bapak dipanggil oleh petugas satu per satu untuk tes tertulis pengajuan lisensi untuk kendaraan roda empat. Tiba-tiba, ada seorang laki-laki berumur sekitar 40-an membawa formulir pengajuan lisensi, langsung menyerahkan kepada petugas di ruang teori, tidak lama, bapak itu kemudian keluar lagi dengan membawa formulir yang dia bawa tadi. Saya sih tidak tahu apa-apa, walaupun sebenarnya di benak saya berpikiran macam-macam.
Akhirnya saya dipanggil petugas teori. tiba-tiba saya diminta tanda tangan dan langsung menuju ke lapangan untuk praktik mengemudi. Saya sedikit bingung, menangkap raut kebingungan saya, petugas langsung berkata pada saya,
"Daripada harus tertulis, langsung saja ke depan, ini kan nunggu lama yang tes, nanti ndak kelamaan. apa mau tak tes beneran?"
Saya pun diam saja dan menuruti perintah petugas teori. Kalau saja saya niat bikin lisensi, mungkin saya menantang bapak petugas teori tadi. Akan tetapi saya malas terlalu lama berurusan dengan petugas-petugas seperti mereka. Masa bodoh.
Saat saya menuju ke depan, ibu saya bertanya tentang tes tertulis, dan saya jawab,
"Disuruh langsung ke depan. tesnya sudah dikerjakan pak petugas. jawaban benar saya 26, jika ingin lulus, minimal menjawab benar 21 soal..."
Ibu saya diam saja. saya pun tidak banyak bicara, dan langsung menuju ke halaman depan untuk praktik.
Sesampainya di depan, saya menyerahkan formulir saya dan hasil tes saya - yang benar 26 soal itu - ke petugas penguji. saya diminta ambil nomor urut ujian, padahal hanya ada dua orang - termasuk saya - yang akan mengikuti ujian untuk lisensi tersebut. Saya pun mengambil nomor urut yang lebih banyak dari peserta lain, saya tidak ingin diuji lebih dulu. apalagi peserta ujian itu laki-laki.
Sebelum kami diuji, pak petugas memberi contoh mengemudi di area ujian di jalur-jalur yang sudah ditentukan. Ah, saya pasti bisa, bisa kalo naik sepeda gunung saya.
Peserta ujian pertama pun mencoba, dan dia sangat kesulitan. Saya sudah mulai merasa mules karena grogi. Pasti saya lebih parah daripada dia. Tapi saya tidak peduli, mana ada peserta ujian yang langsung lulus ujian seperti itu kecuali Marc Marquez?
Kenyataan pun tidak jauh berbeda dengan perkiraan saya. Saya tidak peduli mau jalan ke mana kendaraan yang saya kendarai ini. disuruh mengikuti jalur, ya saya ikuti. tapi ketika ada patok-patok yang membatasi, ah saya tidak kuasa kalau harus selalu dalam lingkaran yang sudah ditentukan. Saya tabrak saja patok-patok yang sudah ditata sedemikan rumitnya bagi peserta ujian.
Daaaaan ya, saya pun gagal mendapatkan lisensi. Pak petugas meminta saya datang lagi dua minggu setelah ujian yang pertama. Orangtua saya mendesak saya untuk belajar melewati tantangan-tantangan seperti yang disiapkan petugas penguji pencarian lisensi, tapi saya sebenarnya enggan. Mungkin memang terkesan egois, tapi saya malas saja. Mengapa saya harus susah payah belajar kalau bisa langsung mendapatkan lisensi? Apa ada bedanya lisensi yang langsung jadi dengan lisensi melalui tes? apa ada bedanya lisensi yang melalui tes teori murni dan tes teori yang dibuatkan pak petugas? Mengapa sewaktu saya diuji praktik tidak dikerjakan pak petugas saja? Mengapa tidak ada sekolah mengemudi seperti di Bikini Bottom? Mungkin karena Indonesia tidak diatur oleh Stephen Hilenburg.
Maaf kalau cerita saya tidak lucu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar