Dia tidak jauh dari genggaman. Hanya saya yang belum dapat melihatnya.
Kamis, 21 Maret 2013
Tentang slogan
Kemarin, dalam perjalanan ke Semarang, saya menemukan slogan Bangun Desa, Nata Kutha. Ini sebelumnya maaf lho, entah slogan siapa, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan, karena saya yakin slogan ini dipenuhi visi misi yang bermutu untuk rakyat.
Jadi kita mulai dari frasa pertama. Bangun Desa. Mungkin lebih luwes ditulis (m)bangun desa, pakai em. Ide dari frasa pertama ini sangat baik. Membangun desa. Selama ini kita semua berpikiran bahwa di desa itu masih banyak kekurangan, terutama fasilitas. Entah fasilitas kesehatan, pendidikan, atau transportasi. Maklum, tempatnya kan kethip, sulit dijangkau dan penduduknya sedikit. Kalau begitu rakyatnya apa juga sama kekurangannya seperti kekurangan desa tadi? Wah tidak. Banyak yang bilang orang desa itu justru sugih-sugih. Cuma penampilannya saja kok. Tapi sepertinya there's no big deal dengan penampilan. Yang penting kesejahteraan kan? Karena terkadang penampilan nyeleneh justru jadi khas dan menghibur.
Eh kok ngelantur saya nulisnya. Jadi kita kembali ke slogan tadi. Kalau yang dimaksud dengan membangun desa itu membangun dari banyak sisi seperti dari manusianya diberi banyak penyuluhan tentang pertanian organik, tentang usaha padat karya dan macam-macam, wah oke sekali. Kalau dari sisi fasilitas ditambah puskesmas yang lengkap + dokter jaga + ambulan lebih bagus lagi. Pokoknya hal-hal fundamental ditingkatkan di desa, itu baru mbangun desa. Tapi, akan seberapa jauh desa itu dibangun? bukankah pembangunan seharusnya terus bergerak karena banyaknya kebutuhan? bukan tidak mungkin desa bisa jadi kota lha wong daerah Tembalang yang dulu hutan belantara saja bisa jadi kos-kosan.
Sekarang Nata Kutha. Kalau setahu saya, segala sesuatu yang ditata (diberi tindakan penataan) biasanya dari hal yang tidak tertata atau berantakan. berarti maksudnya kutha / kota itu berantakan. Apanya yang berantakan? banyak. Orang, infrastruktur, birokrasi, ya pokoknya banyak, saya juga tidak mau sok tahu. Yang menjadi pertanyaan, dari mana mau menata kota? apa dari semua sudut langsung dihajar, atau dari sudut ini atau itu dulu. Kalau saya yang diminta menata kok orangnya dulu ya. Tapi yang jadi masalah, menata orang itu susah. Metodenya harus seperti apa saja saya tidak tahu.
Saya hanya berharap, siapa pun yang melaksanakan slogan tersebut dapat mencapai tujuannya untuk membuat rakyat sejahtera. Jangan mikir yang aneh-aneh lho, apalagi sampai punya istri tiga seperti Pak Djoko, eh. Yah pokoknya semua tergantung niatnya lah. Saya ingat kata teman saya isyfan,
Niat adalah hal fundamental. Tindakan adalah titik bifukarsinya.
Semoga semua orang mengerti. Selamat sore.
Sabtu, 02 Maret 2013
Panggung Sepak Bola
Semalam saya menonton El Clasico, ya meskipun saya tidak begitu suka kedua tim, namun rupanya laga di markas Real Madrid itu lebih menarik daripada buku agama saya. Seperti biasa, seperti prediksi para penulis berita, El Clasico berjalan panas, diwarnai puluhan pelanggaran, dan kontroversi.
Saya memang jarang menonton El Clasico full time, tapi semalam entah mengapa saya tertarik menonton lanjutan La liga tersebut sampai final whistle ditiupkan wasit Miguel Perez. Match yang pada akhirnya dimenangkan tuan rumah itu pun mendapat banyak komentar, baik dari para pecinta Madrid, maupun Barcelona. Bahkan hoax sempat muncul, akibat kartu merah yang diberikan wasit pada kiper Barca Victor Valdes pada ujung laga. Media yang tidak bertanggung jawab tersebut mengabarkan Valdes memukul Pak Wasit di ruang ganti. Untung saja, stakeholder pertandingan langsung meralat berita tidak benar tersebut.
Sejak SD saya memang suka menonton sepak bola, karena bagi saya pertandingan sepak bola merupakan paket lengkap pengetahuan tentang olahraga itu sendiri serta hiburan sekaligus. Hiburan jalannya pertandingan, dan juga para punggawa-punggawa yang tampan (jujur).
Akan tetapi, setelah hadirnya berita tentang perjudian semacam fixing score di banyak pertandingan sepak bola di Eropa, membuat kepercayaan saya terhadap pertandingan-pertandingan sepak bola berkurang. Apakah benar, laga kontroversial Madrid-Barca yang selalu seperti itu panasnya memang alami dari tumbukan kemampuan para pemain hebat di liga spanyol, atau, sebuah panggung hiburan yang memang sudah direncanakan?
Mungkin sudut pandang ini terkesan overgeneralizing bahwa semua pertandingan bola di eropa sudah tidak bersih lagi. Akan tetapi, kita semua tahu, hal-hal yang melingkari si kulit bundar merupakan komoditas yang sangat dekat dengan uang. Ketika uang hadir, bukan tidak mungkin pertandingan bisa diatur sangat menarik, atau bahkan jauh dari prediksi para penulis berita.
Kini banyak lapangan sepak bola tak ubahnya panggung sandiwara di mana para punggawa tim menjadi aktornya. Diving mungkin hanya sebagian kecil dari akting para pemain bola. Di balik hasil dari suatu pertandingan, mana bisa kita para penikmat sepak bola tahu yang terjadi sebelum maupun sesudah pertandingan tersebut? Kalau ada media yang mengabarkan insiden ini-itu di ruang ganti, berita itu tentu tak lebih dari berita permukaan.
Saya tahu, dengan menulis seperti ini mungkin sedikit mencoreng citra dari pertandingan-pertandingan sepak bola di dunia. Akan tetapi, saya sendiri sebenarnya "sakit hati" mengetahui adanya fenomena fixing score yang diotaki warga Singapura itu. Yang saya inginkan, semua pertandingan tetap tersaji bersih dengan sportivitas sebagai jantungnya. Akan tetapi, saya tidak punya uang untuk mengaturnya, apa boleh buat?
Langganan:
Komentar (Atom)