Sabtu, 31 Maret 2012

Ranting, dan mimpinya (Obsesi)

Jadi begini, setiap orang pasti punya panutan dalam meraih cita-cita, termasuk gue juga. Seseorang telah sukses menginspirasi gue biar gue bisa rajin belajar, meraih apa yang dia raih dan sebagainya. Tapi gue juga tau bates kemampuan diri gue sendiri, mana kira-kira kelebihan gue daripada dia, dan mana kelemahan gue daripada dia, sehingga gue mengambil kesempatan lain dengan keuntungan yang sama besar (semoga). 

Tapi tentu ada yang nggak setuju dengan pemikiran gue tadi. Salah satunya adalah temen gue, sebut saja dia Ranting. Ranting, seperti kebanyakan orang tahu, dia bukan orang yang hebat yang menang olimpiade di mana-mana. Dia hanya pelajar laki-laki biasa berusia 15 tahun yang memiliki mimpi, tapi semakin kesini, gue semakin sangsi, apa itu mimpi yang dia punya, atau sekedar obsesi. 

Semenjak SMA, ada banyak perubahan dari dia. Mulai dari fisik, sampai psikologis, semua berubah 180 derajat. Gue seakan nggak mengenal dia sekarang, dan semua orang setuju, dia sudah berubah. Bukan Ranting yang gue kenal dulu, bukan Ranting yang bisa gue ajak bercanda, jalan-jalan, ketawa-ketiwi, curhat, dan lain sebagainya. 

Hari ini, gue semakin tersadar perubahan dalam diri Ranting. Dia, begitu terobsesi akan seseorang yang dia anggap sebagai panutan. Dia, meniru segala tingkah laku seseorang pujaannya. Dia, mencoba menjadi seseorang yang ia puja, bahkan membaca novel yang dibaca seseorang yang ia puja, padahal, selama ini, dia nggak pernah baca novel, kecuali terakhir, pinjem Cinta Brontosaurus nya Raditya Dika dari gue. 

Dia bilang dia punya mimpi, ingin begini ingin begitu. Dia bilang dia sedang berusaha menggapai mimpinya. tapi kenyataannya yang dia lakukan hanya menghabiskan waktunya untuk berkiblat dan mematuhi seseorang yang ia jadikan panutan - yang ia panggil senior. Dia tidak pernah belajar, kata seorang teman gue. Sepulang sekolah dia hanya sibuk dengan organisasi yang ia dewa-dewakan, dan pulang ke rumah sore hari dalam keadaan lelah. Oh, pantas. 

Gue semakin yakin, yang ia punya bukan mimpi, tapi obsesi. Mimpi itu sesuatu yang luhur yang kita ukir perlahan-lahan dengan ketulusan dan pada akhirnya (InsyaAllah) dapat terwujud seperti yang kita inginkan. Obsesi dipenuhi nafsu, keinginan untuk meng-imitasi dan dilakukan dengan ambisi yang tinggi tanpa memedulikan kemampuan diri sendiri. 

Sayangnya, gue nggak bisa berbuat apa-apa untuk menyadarkan Ranting. Gue terlalu takut untuk bilang, karena gue juga nggak yakin opini gue sepenuhnya benar. Gue inget banget, Ranting tadi bilang ke salah seorang teman gue, 

"Gue pengen memperbaiki hidup gue.."

Sebagai teman, gue cuma bisa berharap semoga hidup Ranting bisa lebih baik di masa yang akan datang.

Senin, 26 Maret 2012

I know now I have been disappointed by myself, even it's twice more painful. First, I've made such a wrong choice. Second, I didn't even use my chance appropiately just because I hesitated of something that wasn't certainly happened. Now I wish to have another chance just to make them better, but wish is just a wish. This is the role I'm playing, what I have started have to be completed though it's not always good for me. 
I promise to discover myself, someday - after finishing this role - and I may not make mistakes, anymore. 

Jumat, 23 Maret 2012

Mejanya Nakal

Suatu ketika guru matematika gue bilang
"Banyak orangtua yang sudah salah mendidik anaknya.."


contoh konkritnya seperti ini:
Ketika si orangtua punya balita imut-imut yang lagi belajar jalan, kesalahan ini sering kali dilakukan. Si anak yang masih nggak berdosa ini jalan eh nggak taunya nabrak meja di depannya yang lebih gede dari badan si anak. Reaksi si anak biasanya menangis, atau teriak sambil menangis memanggil ibunya (sama aja ya). habis itu si orangtua mendekat dan mengelus-elus badan anaknya yang ketatap meja, seraya berkata,

"Wah mejanya nakal yah, (mukul meja) tuh, udah dipukul sama ibu, nggak papa ya..

Si anak kontan gembira atau tangisnya mereda. Masalah tabrak menabrak meja selesai, tapi masalah karakter anak di masa depannya, belum selesai. 

Sekarang begini, dari kasus tersebut memang si Ibu mengajari anaknya untuk tidak mudah menyerah dalam belajar berjalan. namun di sisi lain, justru kata-kata "menyalahkan meja" menjadi bumerang bagi masa depan anak. Meja, hanya sekedar benda mati berjenis kelamin laki-laki yang nggak bisa berjalan apalagi nabrak orang. Meja memang punya kaki, tapi meja tanpa gaya nggak mungkin tiba-tiba menabrak si bocah tadi kan?

Harusnya si Ibu menanamkan kepada anaknya bagaimana cara belajar berjalan yang benar dan menghindari meja, bukan menyalahkan mejanya yang nakal. Mana mungkin meja bisa nakal? sekarang kalau saja meja bisa bicara, dia pasti sudah marah-marah ditabraki si balita yang berjalannya masih membabi buta. Jadi, jika dipandang dari sudut si meja, yang salah jelas si balita seenaknya menabrak dia. 

Jika kultur "Menyalahkan meja" terus dilakukan para ibu, karakter buruk dari si anak nggak mungkin terelakkan. karakter si anak akan terbentuk menjadi orang yang suka menyalahkan orang lain, tanpa introspeksi diri bahwa mungkin dirinya sendirilah yang bersalah. Itulah mengapa banyak kasus di Indonesia yang nggak rampung-rampung, ketika si tersangka diminta bersaksi, kebanyakan dari mereka mengelak dan melakukan pembelaan mati-matian. Yang lebih parah lagi, ada ada saja orang yang tidak terima dirinya kalah di pemilu kemudian menuntut rivalnya yang menang. Hah, andai saja para politikus Indonesia seperti Ramos Horta yang dengan besar hati menerima kekalahannya. Mungkin sewaktu kecil, ibunya tidak pernah mengajarkan kultur "Menyalahkan Meja", mungkin. 

Jumat, 16 Maret 2012

Musuh



Ada yang mengatakan bila musuh dapat membuat mereka lebih kuat. 
Sedangkan di olahraga beladiri Wushu, disebutkan bahwa musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. 

"Jadi, ketika ada orang yang berpendapat bahwa diri mereka kuat, 
maka mereka sedang menjadi musuh terbesar diri mereka sendiri." 

Gue = Sepuntung Rokok

Suatu sore gue mau berangkat les musik, naik angkot. gue hampir sampai di bibir gang, ada angkot nomor 6 melintas ke utara. Tapi berhubung gue nggak mau ke utara, ya gue biarin aja tu angkot lewat. setelah gue sampai di bibir gang, eh ternyata si angkot nungguin dari kejauhan (dan udah kebablasan banget). Gue diemin aja lah tu angkot, orang niat gue juga mau nyebrang. 

Setelah gue nyebrang si angkot berlalu. Gue pun memulai menunggu angkot nomor 5 atau 6 menuju ABC. Nggak berapa lama, ada angkot nomer 6 agak ngebut ke arah selatan, ya gue stop aja, mumpung cepet ada angkot. Gue masuk, eh kosong, blong. Sewaktu gue duduk, gue ngerasa ada yang aneh dan nggak asing sama ini angkot. Beberapa detik kemudian gue sadar, ini adalah angkot yang melintas ke utara dan nungguin gue tadi. Jadi si sopir muter terus bela-belain ambil gue gitu? 

Iya. emang bener, tu angkot kosong banget soalnya. sempet berpikir yang aneh-aneh sih, tapi peduli setan. gue pun berpikiran positif bahwa memang si bapak sopir bekerja begitu keras mengejar setoran menghidupi anak istri. Gue pun berencana mengeluarkan uang 2000 rupiah, padahal biasanya gue cuma bayar 1000 meskipun pake baju bebas. 

Si sopir akhirnya nanya gue mau turun mana. gue bilang ABC (kenapa gue bilangnya ABC?). terus si sopir bilang kalo mau nurunin gue di halte. Gue ngangguk aja toh tempat lesnya deket dari halte. Sampe di halte gue turun dan menyerahkan 2000 rupiah gue. Guess what happened?

"Mbak rokok e siji!" teriak si sopir dari belakang kemudi ke ibu-ibu penjual rokok di halte. 

Uang 2000 udah gue kasihin, terus gue langsung jalan ke tempat les.Gue berjalan kayak orang bingung, dan emang gue saat itu bingung. bagaimana bisa, si sopir melakukan hal itu? Gue ngerasa nyesel udah ngasih 2000 ke bapak tadi. Asumsi positif yang gue kasih tentang bapak tadi lenyap seketika. Baru kali ini gue merasa bodoh, dan gue sadar bahwa gue dikejar-kejar sopir angkot yang mengejar 2000 rupiah gue untuk sepuntung rokok.