Dalam beberapa tahun terakhir, Korea sukses dengan bisnis besar mereka - KPOP, Korean Dramas, dan segala macam TV shows yang mereka buat. Masyarakat Indonesia tidak luput dari sasaran gebrakan dunia bisnis entertainment macam ini, dan beberapa orang masyarakat Indonesia menganggap bahwa dunia hiburan semacam itu (saya tekankan lagi, benar-benar macam itu) merupakan ladang peruntungan. Hadirlah boyband-girlband ala Indonesia, yang katanya, terinspirasi boyband-girlband Korea.
Lain dunia hiburan, lain lagi tren dunia pendidikan. Sepuluh tahun yang lalu mungkin siswa-siswi SMA masih belajar pada kelompok belajar mereka masing-masing, atau beberapa dari mereka juga ada yang mengikuti les privat. Kini, kelompok belajar dan tutor sebaya sudah tidak ngetren lagi, men. Fenomena semacam itu memang benar adanya sebab saya sendiri yang mengalami, dan wali kelas saya, beberapa waktu yang lalu mengeluhkan keadaan ini. Beberapa minggu sebelum UN suasana KBM memang biasanya hanya diisi tanya jawab antara siswa dan guru, namun beliau sangat prihatin sebab nampaknya para siswa sudah tidak begitu memperhatikan keberadaan guru di kelas. Dari mata beliau, para siswa lebih suka belajar di bimbel daripada di kelas, di sekolah.
Fenomena tersebut muncul lantaran tidak hanya satu-dua siswa yang ikut bimbel, tetapi hampir separuh anggota kelas, dan sayang sekali guru-guru melakukan over-generalisasi atas sikap para siswa. Padahal, tidak semua siswa ikut(ikut) belajar di bimbel. Ya, kini banyak sekali peserta didik yang mengikuti bimbel (khususnya di sekolah saya) dan pertumbuhan pengikut bimbel akhir-akhir ini menunjukkan kenaikan seperti deret ukur. Satu orang ikut bimbel, orang yang lain lihat dia bisa mengerjakan soal, orang itu ikut bimbel. Beberapa anak lain melihat dua orang anak pakai cara-cara cepat dan mereka tertarik, beberapa anak ikut bimbel, dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin beberapa dari mereka sebenarnya tidak begitu membutuhkan bimbel (karena kita tahu, di bimbel enam mapel UN dipelajari semua, tetapi saya berani bertaruh pasti banyak yang sering bolos saat kelas bahasa Indonesia) tetapi karena banyak teman yang ikut, akhirnya ikut juga lah, biar merasa 'aman' sewaktu mengerjakan UN. (No offense, for sure.)
Membahas mengenai tren, pasti Jokowi merupakan salah satu pembicaraan yang tidak habis dibicarakan semua lapisan masyarakat. Lha wong ada namanya di soal UN saja dipermasalahkan kok, katanya nanti ada pihak yang diuntungkan, lalu pihak lain tidak mau pihak tersebut untung - itu kan bisa-bisanya saja mereka yang buat berita. Yang penting sebenarnya bukanlah menyelesaikan masalah ada Jokowi di bacaan UN, tetapi bagaimana kunci-kunci UN masih banyak beredar, dan bahkan model soal UN yang katanya dirahasiakan bisa diketahui beberapa siswa secara legal (Saya tidak bohong, mereka mengetahui jenis soal tersebut - dapat saya kategorikan - secara legal, sah, tidak jual beli soal).
Kembali lagi ke Jokowi tadi, pasti kita sudah banyak melihat orang-orang yang mirip Jokowi diundang ke acara TV (yang katanya program lawak tetapi tidak bermutu sama sekali karena diisi orang-orang alay menari-nari). Tetapi bukan di situ titik ikut-ikutan yang krusial. Ikut-ikut Jokowi lewat 'karisma' itu yang menyebalkan. Banyak yang ikut-ikut gaya Jokowi blusukan, berpakaian, dan lain-lain. Apa se-tidak kreatif itu para politikus di Indonesia? Jokowi memang mungkin patut diteladani, tetapi kalau mau menang, apa harus ikut-ikut pak Jokowi persis? Apa tidak punya jati diri, visi, dan gebrakan sendiri?
Demikianlah mental masyarakat Indonesia, yang masih hidup dalam kondisi yang belum mapan dan masih meraba-raba masa depan, serta bertumpu pada keberuntungan. Hanya untung-rugi yang dipertaruhkan, bukan perjuangan. Proses juga tidak pernah dipertimbangkan, yang penting hasil akhir, yang penting perut kenyang, yang penting nilai UN memuaskan.