Sabtu, 15 Februari 2014

Mengenal Tum

Kenalilah Tum.
Gadis yang sedang tumbuh dewasa dengan mimpi, ambisi, pilihan hidup dan rasa laparnya. 

Delapan belas tahun usianya. Dia sudah punya KTP setahun terakhir, meskipun saya tidak pernah melihat isi dompetnya. Saya sudah mengenal Tum, paling tidak 11 tahun terakhir. Kami tumbuh bersama, dalam waktu yang sama, maksud saya. 

Biar saya ceritakan Tum masa kecil. 
Dia adalah gadis kecil yang pemberani, pintar, dan ramah. Tidak seperti saya yang galak, dia selalu ramah kepada siapapun dengan senyum khasnya. Benar-benar anak idaman tiap orang tua. Bagaimana tidak, semester pertama dia langsung menjadi juara kelas. Selama dua tahun pertama di sekolah dasar, Tum adalah primadona. 

Dulu saya pikir Tum lebih pintar dari saya karena dia lebih tua dari saya. Tetapi bukan. Di tahun ketiga, Tum kehilangan sorot lampu utama, dan saat itulah pancaran intelegensi Tum mulai menurun. 

Semasa sekolah dasar, Tum telah melalui banyak perubahan, kecuali satu, badannya. Tum juga tidak pernah malu dengan badannya. Tum adalah gadis yang penuh percaya diri, apapun yang dia kerjakan, dia lakukan dengan percaya diri. Bahkan dalam cela pun Tum tetap melakukannya dengan percaya diri. 

Tum punya otak yang luar biasa, berbeda dengan otak saya dan teman-teman yang lain. Tum punya pemikiran super imajinatif dan visioner. Pola pikirnya mungkin jika dipetakan akan seluas langit di angkasa. Pola pikir itulah yang juga tidak pernah berubah hingga kini. Pola pikir yang tidak pernah sanggup saya raih dengan akal sehat saya. 

Tum melewati banyak hal di masa kecil-remajanya. Akan saya ceritakan lain kali. 


Di Bawah Peci

Minggu siang yang mendung ini saya sendiri di rumah bapak saya di daerah Tegalrejo. Lingkungan ini merupakan lingkungan yang baru untuk saya. Lingkungan yang cukup terbuka, untuk para tetangga, untuk para pedagang, untuk para pengamen, untuk para peminta-minta, bahkan untuk para maling. 

Saya belum tahu berapa banyak orang bisa masuk-keluar di wilayah perumahan ini. Yang dapat saya simpulkan hanyalah lingkungan ini lebih ramai dibanding rumah tinggal saya di daerah Kalioso, di pusat kota. 

Siang ini saya menjumpai seorang kakek berpeci, berbaju koko mendatangi rumah kami. Awalnya saya kira bapak ini adalah takmir masjid. Ketika saya tanya ada keperluan apa, saya dengar bapak ini meminta saya untuk berbagi rezeki dengannya.

Di bawah pecimu pak, entahlah saya tidak tahu apa saja yang ada di bawah sana.